Jakarta (ANTARA) – Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW) Ikhsan Abdullah mengatakan RUU Cipta Kerja yang baru saja disetujui pengesahannya oleh DPR, berpotensi melemahkan Majelis Ulama Indonesia dan Kementerian Agama dalam konteks perannya pada Sistem Jaminan Halal.
Ihksan saat dihubungi di Jakarta, Rabu, mengatakan UU Cipta Kerja memungkinkan produsen mendeklarasikan sendiri bahwa produknya halal. Dengan begitu, kementerian atau lembaga yang mengurusi sertifikasi halal dapat dikesampingkan dengan mudah.
“Hal yang sangat tidak tepat di dalam Ketentuan Omnibus Jaminan Produk Halal adalah ketentuan ‘self declare’ ini adalah sesuatu yang diharamkan Undang-Undang No 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal sebelum ada ketentuan Omnibus Law,” kata dia.
Menurut dia, Sistem Jaminan Halal semula tergolong ketat dalam memberi sertifikasi halal suatu produk. Akan tetapi, UU Cipta Kerja justru memungkinkan peluang banyaknya produsen melakukan deklarasi mandiri produknya halal.
“Ini melemahkan MUI dan Kementerian Agama yang secara struktur dan kelembagaan telah mempunyai organ sampai di tingkat kecamatan di seluruh Indonesia,” katanya.
Baca juga: Halal Watch khawatir sertifikasi halal berbelit karena UU Cipta Kerja
MUI dan Kemenag, kata dia, sejatinya dapat diberdayakan untuk melakukan pembinaan, pengawasan dan edukasi kepada dunia usaha tentang berbagai hal terkait produk halal seperti cara memproduksi barang yang halal.
“Karena halal itu mata rantainya dari ladang sampai ke meja makan, yang harus dijamin kehalalannya. Lalu bagaimana bila halal hanya dinyatakan sendiri oleh pelaku usaha UKM?,” kata dia.
Ikhsan mengatakan tidak semua UKM menggunakan bahan produksi yang termasuk kategori daftar positif seperti bahan-bahan alam misal beras, tepung ketela dan sagu.
Baca juga: Biaya sertifikasi halal diminta selaras dengan Cipta Kerja
Tetapi banyak UKM yang produknya menggunakan bahan utama dari daging, margarin, room butter, bahan penolong serta bahan artifisial yang memiliki titik kritis tinggi (berpotensi terkontaminasi materi tidak halal) yang masih harus ditelusuri kehalalannya.
“Bila halal hanya dengan ‘self declare’ maka akan menjadi tidak jelas kehalalanya. Dan yang menjadi persoalan utama, halal itu bukan masalah perizinan yang dalam Omnibus Law dimasukan di dalam kluster perizinan dan kemudahan berusaha. Tetapi halal itu adalah hukum syariah Islam yang menjadi domain dan kewenangan ulama,” katanya.
IHW menyatakan pendekatan kehalalan produk bukan hanya didekati dengan ilmu fikih saja melalui deklarasi mandiri kehalalan. Akan tetapi, kehalalan produk harus menggunakan pendekatan teknologi pangan yang kini sudah tergolong canggih dalam mengecek kandungan hasil produksi.
Jika kehalalan hanya menggunakan pendekatan fikih saja, kata dia, dapat menjadikan produk tidak jelas riwayat kandungan materinya.
“Oleh karena itu, tetap diperlukan pemeriksaan atas suatu produk sebelum dilakukan penetapan Fatwa oleh MUI. Jadi ‘halal self declare’ tidak sejalan dengan maksud-maksud syariah, disamping tidak sesuai prinsip perlindungan konsumen yang menjadi tujuan utama,” katanya.